Sabtu, 11 September 2010

Nostalgia blok GI Tract

Say goodbye to GI Tract, welcome neuromuskuloskeletal!

Walaupun dari awal saya tetap lebih menyukai kardio daripada GIT, dan walaupun saya merasa susah sekali belajar di blok GIT, sulit menangkap dan mengerti apa yang dikuliahkan, bahan pelajaran yang sangat banyak dengan mekanisme yang membingungkan walaupun sudah sangat familiar didengar sehari-hari *ternyata diare itu rumit tohhh..*, tapi blok GIT sangat berkesan buat saya dibandingkan dengan blok-blok lain yang telah saya lalui sebelumnya.

Lantaran ini berhubungannya toh dengan perut dan mulut, dan selera makan, setelah blok GIT jadi lebih hati-hati dalam memilih makanan dan pola makan. Saya juga baru tau toh kalau diet sangat rendah kalori dapat menyebabkan batu empedu (hati-hati para wanita yang berdiet ekstrim).


Well, tapi intinya bukan itu. Selama blok GIT ini, dan hanya di blok GIT inilah saya mendapatkan pengalaman berharga yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Bersyukur sekali punya dosen yang baik seperti dokter Yanto yang bersedia mengajarkan kami USG secara langsung dan dokter Robert yang bersedia mengajak kami kesana kemari mendapatkan pengalaman. Belum koass saja sudah dua kali mengikuti tindakan kolonoskopi. Berasa udah jadi dokter beneran (atau paling tidak, koass) :D

Saya masih ingat ketika kami ditanya oleh salah satu perawat yang ada disitu, "Kalian koass nya dokter cahyadi (panggilannya dokter robert di RS itu) ya?"
hahaha, betapa malunya waktu kami bilang kalo kami ini hanya mahasiswa pre-klinik yang masih dodol. Membuntuti dokter yang mengajak kami, dan kadang2 menanyakan beberapa pertanyaan aneh, yang kata dokter, "mikir dulu dong kalo mo nanya, pake logika dikitt..."
Walaupun tegurannya nyelekit, tapi benar juga. Kami masih perlu banyak belajar.

Pasien pertama adalah seorang ibu, yang mempunyai jaringan tumor di perut bawahnya dekat rektum. Waktu itu pertama kalinya kami datang, jadi masih sangat segan sekali. Ditambah lagi tidak ada rencana untuk datang sebelumnya, jadi beberapa orang (kebanyakan) dari antara kami tidak membawa jas lab. Tapi untungnya dikasih pinjem sama perawatnya. hehe. baik juga loh.

Waktu itu ternyata sang ibu belum tuntas meminum pencaharnya. Dia baru minum garam inggris (hayooo.. masih inget gak nama kimianya apa??) tapi belum minum dulcolax (apa bahasa farmakonya??? :D) Dan BAB nya belum air.

Perlu diketahui, pencahar ini diminum untuk membersihkan usus dari kotoran. Sebelum kolonoskopi, usus si pasien harus bersih dulu, supaya mudah melihatnya.

Nah, si ibu ini belum tuntas meminumnya, jadi tau kan apa akibatnya?

Ketika kabel kolonoskopi dimasukkan memang terlihat kotor, dimana-mana ada feses. Jadi susah untuk melihat, mana yang feses, mana yang jaringan asingnya. Kemudian setelah ditemukan jaringan asingnya, maka dilakukan biopsi. Saya baru tau cara melakukan biopsi ternyata seperti itu toh. Dimasukkan kabel lain yang punya capitan kecil di ujungnya. seperti gunting, tapi panjang, dan mikro. Di monitor dapat terlihat jaringan tersebut dicapit, lalu ditarik, dan memang, keluar darah yang banyak. Kata dokter, itu disebabkan jaringan neoplasma yang rapuh.

Biopsi dilakukan berulang-ulang kali, walaupun darah yang keluar banyak. Disini saya melihat prinsip risk and benefit. Dilakukan pengambilan jaringan yang banyak supaya pemeriksaan patologi anatominya akurat. Kalau sedikit, dan belum cukup untuk diagnosis, maka perlu dilakukan biopsi ulang. Itu lebih repot lagi dan menambah biaya. Lagipula, kata dokter, tanpa dibiopsi pun jaringan itu sudah rapuh, dan sewaktu-waktu dapat mengalami perdarahan.

Namun melakukan biopsi itu sendiri harus hati-hati dan profesional. Bila tidak, dapat terjadi komplikasi berupa perforasi. Risiko lainnya, jaringan yang luka itu dapat terinfeksi bakteri yang tadinya hanya bersifat komensal di kolon.

Pasien kedua, seorang bapak, punya benjolan di perut kanan bawah, besar dan keras. Karena kita disuruh melakukan pemeriksaan fisik, jadi saya cukup tau banyak tentang bapak ini. Pada hari pertama Hb nya hanya 8, jadi tidak berani dilakukan kolonoskopi. Setelah ditransfusi, pada hari kedua, Hb nya naik menjadi 10.

Waktu di-anam sedikit, bapak itu, dengan cara ngomongnya yang sedikit pelo (kata dokter robert disebabkan oleh kelemahan umumnya), bercerita. Katanya dia punya benjolan sudah lama. Tapi dua bulan belakangan ini dia merasa benjolannya keras, dan kadang nyut-nyutan. Terakhir kali dia diperiksa di puskesmas, Hb nya turun rendah sekali, karena itu dia dibawa ke Rumah Sakit. (ngga mo sebut merk :D)

Di punggung atas kanannya terlihat lesi dekubitus yang dia keluhkan sakit, lebih sakit dari benjolannya. Sedangkan benjolan tersebut, ketika kami palpasi, keras, dan nyeri seperti nyut-nyutan, serta berbatas tegas.

Kata dokter, tumornya bukan dari GIT tapi dari mesenkim, lokasinya kira2 di ileocaecal. Dan waktu di kolonoskopi, ternyata dia benar. great doc! :D Lesi si bapak, benar seperti yang dokter bilang, bukan dari GIT, tapi dari mesenkim yang metastasis ke GIT. Dari luar tembus ke dalam. Juga terdapat jaringan nekrosis, yang kelihatan hitam-hitam.

dan disini saya juga baru tau kalau kolonoskopi itu menyakitkan. Tadinya saya kira kabel fiber optic itu sangat elastis, jadi gak berasa kalo masuk usus. Malah temen saya bilang, "wah pinter banget itu alat, bisa ikut belok2 sesuai belokan usus." tapi ternyata perkiraan kami salah. Dia memang punya satu alat pinter di ujungnya yang bisa mengatur arah jalannya, tapi selebihnya ngga bisa ikutan belok2. Makanya bapak itu merasa kesakitan, sampai berteriak2. Tegang juga kami berada dalam situasi itu.

Saya baru sadar ketika menulis ini, kenapa si bapak merasa kesakitan, sedangkan si ibu tidak. Padahal waktu penyuntikkan anestesinya hampir sama. Memang si bapak disuntiknya agak telat sih. Tapi sepertinya bukan itu. Yang menyebabkan si bapak kesakitan dan si ibu tidak adalah belokkannya. Lesi si ibu berada di dekat rektum sehingga kabelnya tidak masuk terlalu dalam. Tidak belok2. Sedangkan lesi si bapak di ileocaecal, kabelnya harus nyebrang dari kiri ke kanan. Wajar lah kalau dia merasa lebih kesakitan.

Pertanyaan! sepele, dan mungkin agak konyol, setelah melakukan kolonoskopi pada 2 pasien neoplasma GIT, kenapa sang dokter selalu menyuruh pasiennya kentut?
Ada yang bisa jawab? hehhee

Tiba2 teringat seorang dokter yang mengajar topik anoreksia berkata, "terlalu kurus itu tidak baik (sambil melihat pada saya) tapi terlalu gemuk juga tidak baik (seraya mengalihkan pandangannya ke sebelah saya)."

tebak di sebelah saya ada siapa?

wkwkwkwkk..

Bye GIT. Nice to meet you :D