Minggu, 19 Desember 2010

Recommended Book: Gifted Hands - The Ben Carson Story


Buku ini saya dapatkan kopinya dari seorang teman sudah beberapa bulan yang lalu. Namun, baru beberapa minggu yang lalu buku ini selesai saya baca.

Banyak dari pengalaman Ben yang agak mirip dengan yang saya alami. Dan banyak juga pelajaran dan motivasi yang bisa saya renungkan bagi diri saya dari cerita ini.

Ceritanya mengenai seorang dokter bedah saraf bernama Benjamin Carson. Ben tinggal bersama ibunya, Sonya Carson dan kakaknya Curtis. Sejak kecil ayahnya meninggalkan mereka dan tidak pernah kembali lagi. Sonya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya seorang diri dan di saat yang sama juga mencari terapi psikologis untuk tekanan batin yang dihadapinya. Dan kegigihannya ini tidak sia-sia. Ben Carson sendiri sangat mengagumi ibunya, karena walaupun bukan orang yang memiliki pendidikan tinggi, ibunya selalu memotivasi Ben dan kakaknya untuk meraih prestasi. Seringkali ibunya mengatakan berbagai macam peribahasa yang membakar semangat anak-anaknya.

Ben bukanlah seorang anak yang pintar. Terlahir sebagai seorang "nigger", ia selalu mendapatkan perlakuan berbeda di sekolahnya. Ditambah lagi dengan kemampuan inteligennya yang rendah, Ben mendapatkan banyak tekanan dalam pendidikannya. Ben selalu mendapatkan nilai yang rendah di sekolahnya. Hingga suatu kali diadakan pemeriksaan kesehatan di sekolahnya, dan Ben didapati mengalami rabun jauh. Setelah mendapatkan kacamata gratis dari sekolah, nilai-nilainya di kelas membaik, dan ia mulai dapat mengejar ketinggalannya.

Suatu hari ibunya, Sonya, membuat peraturan baru dirumah. Anak-anak hanya diperbolehkan menonton 3 acara televisi dalam seminggu, dan waktu luang yang mereka punya harus dipergunakan untuk pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Setiap minggu mereka harus melaporkan sejumlah tertentu buku yang telah mereka baca kepada Sonya. Peraturan ini kemudian menanam kebiasaan membaca pada Ben dan Curtis. Mereka mulai menyukai membaca dan menulis, dan disinilah akhirnya Ben menemukan ketertarikannya pada ilmu sains.

Prestasi Ben meningkat drastis di sekolah, hingga ia dapat menjadi yang terbaik di kelasnya. Teman-teman yang dulu menyisihkannya, sekarang mulai berbalik dan malah meminta Ben mengajari mereka.

Menariknya, kehidupan Ben setelah itu tidak selalu berjalan mulus. Dalam prestasi ia juga mengalami jatuh bangun. Ia juga tidak lepas dari masalah pergaulan di masa remajanya. Ia sempat jatuh oleh keinginan menjadi populer di antara teman-teman remajanya. Namun pada akhirnya ia kembali lagi.

Pelajaran yang dapat saya ambil dari kehidupan Ben adalah ia selalu berusaha menjadi yang terbaik, bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk dirinya sendiri. Ia menentukan suatu standar yang tinggi dalam dirinya sendiri. Ia selalu mengingat kata-kata ibunya, "Ben, you can be what you want to be." Dan lagi, " If you ask anything to Jesus, believing He will do it, He will do it for you." Kata-kata itu yang memotivasinya untuk bangkit lagi setiap kali ia terjatuh.

Ia juga pernah mengalami gangguan kepribadian. Beberapa bulan yang lalu saya belajar tentang Mental dan perilaku, jadi saya mengerti secara jelas gangguan kepribadian apa yang Ben alami. Ia normal-normal dan biasa saja, tetapi ketika emosinya memuncak, ia akan melakukan hal-hal bodoh yang tidak dia sadari. Temperamental. Ia bahkan pernah hampir membunuh temannya. Ia tidak sadar waktu melakukannya, tetapi ia menyesali perbuatannya ketika sadar apa yang ia telah lakukan.

Ia berusaha mencari jalan keluar, hingga akhirnya ia putus asa dan mengurung dirinya di kamar mandi. Saat itu ia teringat untuk berdoa. Dan ternyata, Tuhanlah yang dapat membantunya menghilangkan gangguan kejiwaannya ini. Ini yang membuat saya terkagum. Biasanya orang dengan gangguan kepribadian harus di terapi dengan psikoterapi, tetapi Ben dapat melaluinya hanya dengan menyerahkan hidupnya pada Tuhan. Tuhan dapat melakukan segalanya. Ia dapat mengubah seseorang. Yang mustahil menjadi tidak mustahil bagi-Nya.

Ben tetap fokus pada tujuannya, menjadi seorang dokter. Ia tidak pernah menginginkan sesuatu yang lain. Ketika ia mendaftar di program pre-medicine di Universitas Yale, Tuhan merendahkan kesombongan dalam dirinya. Ia memang seorang yang lebih pintar dari teman-teman di sekolahnya. Namun, ketika memasuki Yale, ia dapati orang-orang di sekitarnya lebih baik daripada dirinya. Dan karena cara belajarnya yang salah, ia tidak dapat mengikuti dengan baik pelajaran yang diajarkan. Ia harus mengubah cara belajarnya, tetapi sudah terlambat. Ia akan segera menghadapi ujian. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, tapi ia yakin Tuhan menginginkan ia menjadi seorang dokter. Ia berusaha melakukan yang ia bisa. Pada saat yang paling mustahil dari hidupnya, mujizat terjadi. Malam itu sebelum hari ujian yang ditentukan, ia mendapatkan mimpi.

Ia bermimpi berada dalam sebuah kelas, sendiri. Lalu seseorang masuk dan mulai menulis soal-soal beserta penyelesaiannya di papan tulis. Ia terus memperhatikannya. Ketika ia terbangun ia berusaha mengingat dan mencatat segala sesuatu yang ia ingat dari mimpi itu. Dan ketika ujian dimulai, didapatinya soal-soal ujian sama persis dengan yang ia lihat di dalam mimpinya. Akhirnya ia dapat melalui ujian dengan baik dan mengambil pre-medicine.

Setelah mujizat itu ia berjanji pada Tuhan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Hal ini menjadi teguran buat saya, karena saya juga sering mengalami mujizat seperti itu, tetapi saya tetap mengulangi kesalahan-kesalahan saya. Buku ini membuat saya menyadari bahwa saya harus mengambil tindakan untuk berubah.

Kehidupan Ben ketika menjadi seorang dokter koass (begitulah sebutannya di indonesia) sangat menarik. Ia menghadapinya dengan kemauan belajar yang kuat. Mungkin itulah yang harus saya lakukan nanti bila saya menghadapi fase itu.

Banyak lagi pelajaran-pelajaran yang bisa saya ambil dari cerita ini. Salah satunya adalah bahwa Tuhan tidak pernah membawa kita ke dalam suatu situasi yang tidak dapat kita lalui. Bahwa segala sesuatu jika diserahkan ke tangan Tuhan akan membuahkan hasil yang terbaik. Bahwa seorang dokter harus memiliki empati. Bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam segala hal, sehingga bila kita gagal, kita tidak akan pernah menyesal karena kita telah melakukan yang terbaik.

Berusaha, lakukan yang terbaik, selebihnya serahkan pada Tuhan. Itulah yang saya dapatkan dari buku ini.

*Ben Carson berhasil meraih apa yang ia inginkan. Ia berhasil menyingkirkan diskriminasi yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Dalam masa mudanya ia telah dapat dipercaya memegang divisi Pediatric Neurosurgery di Johns Hopkins University. Ben Carson telah berhasil melakukan banyak operasi hemispherectomy, dengan pasien pertamanya bernama Maranda Fransisco. Ben dan timnya di Johns Hopkins University pertama kali berhasil melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam yang menempel di bagian belakang kepalanya. Ben dikenal sebagai orang yang berani melakukan tindakan yang tidak berani dilakukan orang lain. Hal ini tidak lain adalah buah dari kepercayaan dan penyerahannya kepada Tuhan. GOD is in control :)

I recommend you this book because I myself have been blessed since I read this.
Semoga berkat yang saya terima dari membaca buku ini, dapat dialami juga oleh para pembaca lainnya. Semoga para dokter dan calon dokter dapat termotivasi melalui buku ini.

Praise be to GOD! :)

0 komentar:

Posting Komentar